Bismillahirrahmanirrahiim,
Gadis berpostur sedang itu berdiri. Tugasku semakin menumpuk, gerutunya pula. Lagi. Dan semua terbengkalai begitu saja. Tumpukan
kaos kakiku yang sudah seminggu ini belum sempat ku kucek. Walau satu saja. Alhasil, aku mesti ngubek
kardus sarimie, tempat kaos kaki biasa kusimpan. Bikin lama. Adanya satu putih
bening, satunya lagi putih coklat. Daripada tidak ada, ku pakai juga kaos kaki
belang itu, lagian sudah telat pula. Teringat juga dengan tumpukan tugas kuliah. Satu-satu antri minta
tangan-tangan rajinku untuk kembali menjamah lembaran kertas itu. Sudah kususun
rapi sebenarnya, mana yang harus kukerjakan hari ini, mana yang harus ku tunda
besok. Tapi hingga dua pekan ini, aku malas sekali untuk mengecek atau sekedar
untuk melihatnya. Ditambah dengan jadwalku
yang padat sekkali. Wara-wiri kadieu
kaditu. Pusing....Bingung. Sudah banyak pekerjaan numpuk, masih mau
menambahkan jadwal acara di Diary Biru, tempat coretan curahanku sehari-hari. Ada-ada
saja, atau Ada yang lebih merasakan hal seperti diriku? Haduh...kenapa aku jadi
kemerungsung seperti ini. Lagi. Dan gadis berpostur sedang itu benar- benar menggurutu.
Jalan memanjang itu kususuri dengan
pandangan kosong. Desiran angin yang menggerak-gerakan ujung jilbabku,
sedikitpun tak memberiku kesan untuk sekedar merasa terbuai. Atau bahkan membuatku
sedikit menarik otot-otot pipiku untuk tersenyum pada lalu lalang manusia yang
mengenal rupaku. Manapula yang mau menyapaku dengan mukaku yang kiut seperti
ini. Disangka mirip keong racun siy iya, wong jalanku ini lo, pelan sekali. Seperti membawa beban di
pundak berton-ton. Oops...ah ada apa
denganku sebenarnya. Manapula lah ada orang yang mau menyapaku. Plus jalanku yang mirip tidak punya nyali untuk menatap
kearah depan, sampai-sampai pundakku harus ditepuk berkali-kali ketika teman
satu kostku menghampiriku. Lalu seakan semua sudah tahu dari raut mukaku yang
mirip kerupuk diguyur sambal kacang, jika sudah begini, tidak karu-karuan.
Tersenyum tapi dengan mimik mati. Raut muka melebar tapi tidak tersenyum. Apa
ada yang bisa membahasakan apa yang kini menimpaku???
”Ada apa?” Kak Elsa, teman senior di kost ku
merespon. Respon pertama dari yang sudah-sudah lantaran jawabku ya itu tadi.
Tidak karu-karuan. Tersenyum tapi dengan mimik mati. Raut muka melebar tapi
tidak tersenyum.
”Curhat juga bisa membuka masalah kok
Rhei, jangan terlalu berburuk sangka kepada orang lain”. Terangnya membuka
pembicaraan, yang mendapatiku dengan faceku yang masih kiut. Kini senior ku itu
menatap retina kecilku. Seorang senior yang baik, meski ia tengah disibukkan
dengan skripsinya, mau juga memperhatikan mimikku yang akhir-akhir ini memang
garing dari senyum. Jika senyum pun, hanya bertahan dua detik diraut pipi. Ah,
macam manapula kedaanku ini. Sambil melangkah perlahan, kami menepi pada dahan
pohon nan rindang, sejenak menempatkan kaki-kaki kami yang terasa sudah pegal, untuk
kami luruskan pada lantai bumi yang rindang oleh dedaunan pohon. Tak mengapalah lesehan sejenak.
”ya anggaplah berbicara kepada buku diary,
meski tidak memberi solusi, tapi hati merasa tenang, karena segala yang kita
pikirkan sudah tidak ditampung sendiri. Istilahnya udah tercurahkanlah” ia memberiku senyum manis. Senyum
yang jelas berbeda denganku. Tidak mampir dua detik, juga benar-benar
menyiratkan senyum yang tidak bohongan. Ah,,, aku berlebihan sekali.
”malam ini ada jadwal untuk muraja’ah, siapa
tahu selesai murajah nanti Rhei bisa leluasa menuliskan kata hati Rhei pada orang
yang bisa Rhei percaya” kalimat itu diiringi dengan senyum terbaikknya, lalu berpamit
ria, meninggalkan diriku yang masih terduduk. Langkahnya terayun agak cepat, tersenyum penuh
kemenangan sambil menatapku, meninggalkan diriku yang kalah, kalah oleh kecamuk
hati yang kini kurasa. Kak Elsa memang tahu mengenai tabiat jelekku ini, sedang ingin sendiri, selalu begitu
alasanku. mungkin lantaran alasanku itu hingga dirinya cepat berlalu dari
diriku. Ah, terkadang apa yang diketahui orang lain tidak selalu berlaku
tetap. Diary Biru ku keluarkan, kupangku
dengan kedua kakiku yang kulipat. Sabodo dengan
yang melihat tingkahku yang ini.
”Kak Elsa memang baik Ry, tadi ia
menyinggungmu. Tapi tidak menyakitimu dengan kata-katanya yang tidak bisa
tinggal diam jika berbicara tentang kebenaran. Beda dengan teman yang lain ya”
”kalau ada masalah cerita saja Rhei,
apa susahnya si bercerita. Hati
tenang, beban berkurang, tekanan perasaan juga tidak ada. Masa bisanya hanya sama
Diary Biru” Rena mencibir beberapa hari yang lalu.
”sekali-kali bercerita ke teman yang
bisa dpercaya gak ada masalahnya kok Ukhti, ketimbang hanya cerita ke Diary. Tidak
ada jawaban, yang ada malah makin melarut-larut kan masalah” Luna ikut-ikutan,
sesudah cibiran Rena masuk ke memoryku.
”ya sudah jika tidak mau cerita,
nulis di Diary juga mungkin baik menurut Rhei” Ulya, sedkit lunak dari Rena,
dengan waktu yang sama.
Dan terakhir, sampai kakak senior ikut-ikutan
menyingung sikap dinginku yang menurut sebagian teman-temannya kelewat batas. Muka kusut, senyum makin kerucut, jilbab kiut,
mirip uyut-uyut. Gitu omongan Nenni, langsung
tanpa tedeng aling-aling, waktu yang sama pula. Ah aku jadi malu sendiri. Benarkah aku sampai demikian. Tapi peduli apa mereka
tentangku. Toh masalahku bukan lah hak mereka untuk bisa mengetahuinya. Lagi,
Diary biru menjadi pilihan.
”Jika semua tahu bahkan semua teman-teman
satu kost tahu, meski aku sendiripun sudah mengikhlaskannya. Apa benar meraka pun ingin mengiklhaskan
perkataanku. Tentang kenyataan yang kini menimpaku . atau mungkin mereka semakin
membenciku ya Ry”
”Aku memang terlalu ya Ry, meski sebuah
buku, aku rela mengorbankan hak teman-temanku untuk tahu sedikit apa yang
menjadi masalahku. Bahkan aku sudah sangat dzolim terhadap teman-temanku, sedikit
pun dari teman-temanku tak ada yang tahu tentang permasalahan yang aku hadapi,
lagi pula aku terlalu kolot dengan prinsip kurang baikku, banyak teman yang telinganya bermulut. Apa yang didengar langsung
disebar, tanpa peduli benar atau tidaknya hal yang didengarnya tersebut, meski
aku menepis itu ada pada teman-temanku. Kita semua memang satu halaqah,bahkan
sering murajah bareng. Ah dasar memang diriku yang berpenyakit.”
”Penyakit?”
”Ya, satu kata itu”
Gara-gara penyakit dalam diriku itu aku sering lupa. Lupa untuk
mengucek kaos kakiku yang menggunung di pojokan mesin cuci. Lalu tugas-tugas
kuliahku, lagi disebabkan lupa. Lalu...dan lalu....ah, gara penyakit dalam
diriku itu pula aku menghindar curhat keteman-temanku. Mementingkan malu yang
enggak baik ketimbang nyari pemecah masalah. Lalu teman-temanku pula yang menjadi
korbannya. Mereka tidak menyukai sikapku yang dingin. Yang malas ngobrol
apalagi diajak ngobrol . Menyepelekan
berunding ketimbang curhat ke Diary. Suatu akibat oleh sebab yang aku perbuat.
Ah....
Aku memasukkan Diary biruku kedalam tas ,
lalu kembali memacu langkah kakiku agar dapat menyusul Kak Elsa. Jalanan
memanjang itu berakhir kulalui. Ujung dari jalan tersebut sebelah kanannya adalah
mengarah ke tempat kost Nurul Hikmah. Kost-kostan yang terkenal dengan
penghuninya yang mencintai Al qur’an. Moga aku pun semakin mencintai Al qur’an
ya ,amiin.
Setengah berbelok kearah kanan. Tepat di
pojok kiri itulah hunian dua lantai itu berdiri. Rena menyambutku dengan sapaan
khasnya. Menjulukiku dengan sebutan Mis Diary Biru, lalu menyapaku dengan
salam. Jujur, gadis seumur dengan ku ini
sebenarnya sangat ramah, ia memang agak jor-joran soal omongan, namun sapaan
hangatnya ketika menyambutku seperti menyambut tamu yang datang dari jauh.
Menggenggam erat tangan kananku, lalu
memelukku seraya mengusap pundakku. Keibuan sekali. Jika Kak Elsa, lebih hangat
lagi cara menyambutnya. Selain dipeluk juga usap pundakku, tangan-tangan cekatannya
akan membantuku untuk membawa bawaanku. Si tas pungunggku selalu menjadi
incarannya. Ulya lain lagi, ia biasa menyambutku seadanya. Seada stok sikap
yang ia miliki, tapi dirinya selalu menang jika melihat gelagat ada temannya
yang satu kost tertimpa masalah. Termasuk diriku. Ia lebih jeli mungkin karena
kejeliannya itu jadi membentuk stok sikap seadanya. He, afwan ya Ulya. Duh, mengingat sikap-sikap nan
mulia dari teman-teman kost ku ini, aku jadi malu. Kak Elsa, Rena, maupun Ulya
tidak patut untuk kusandingkan bahkan menjadi saingan si Diary biruku . Ah,,bahkan
mereka menang dalam hal apapun terlebih ketika kedatanganku ke Kostan tercinta ini. Tidak ada satupun dari ketiga nya menyambutku dengan sikap diamnya. Ah...Diary
Biru, menyambutku saja tidak bisa, apalagi memecahkan masalah.
Duh....manalah yang bikin runyam dari
perkataanku ini .
###
Keesokan harinya,
Dengan tampang yang berseri-seri ketika
menyambut pagi. Selesai jadwal muraja’ah rutinnya. Aku sibuk membuka pintu kamar
teman-temanku yang masih tertutup rapat. Menarik Kak Elsa yang masih sibuk
memegang Al Qur’an, meminta Ulya plus Rena untuk mengekorku dari belakang. Pagi
ini pokoknya heboh oleh aksiku yang tidak seperti biasanya.
”Ada apa ukhti sebenarnya?”
Serempak dan kompak, kata itu yang keluar
dari mulut Kak Elsa, Rena, Luna, Ulya, dan Risma. Wuih,,,macam kuis bikin tema
kompak gitu. Aku nyengir kuda. Jarang-jarang hal ini bisa kulakukan. Tapi
sudahlah, sudah terlanjur mengumpulkan mereka. Lagian juga sepuluh menit lagi
lima sohib satu cita-cita itu sudah akan balik ke kamar masing-masing.
Kak Elsa penasaran, Risma sedikit
mengkerut, Ulya plus Luna satu face dengan Risma. Mengkerut sekali. Ini jadwal
untuk murajaah Bu, mungkin begitu bahasanya. Tapi please deh. Aku minta waktu
sebentar saja. Sebentar untuk kebaikan
yang tidak sebentar. Semuanya kubawa pada ruang tengah yang biasa digunakan
untuk belajar bersama.
”Afwan sebelumnya”
Kak Elsa tersenyum ringan, seperti bisa
menebak apa aksiku selanjutnya. Ia lebih mendekat ke arahku, Luna Ikut-ikutan,
yang lainnya benar-benar kompakan. Ikut pula mendekat ke arahku, meski face penasaran masih tertahan pada diri
masing-masing.
”Boleh kapan-kapan aku mau curhat” ringan
sekali kalimat itu menguncur dari pita suara ku.
Lalu dengan kompakan pula berkata ” ya
ampun ukhtiii....” dan semua seperti ingin menjitak kepala ku dengan ringan,
kecuali Kak Elsa yang senyumnya makin berkembang. Benar-benar tidak dua detik.
Allohumma, adakah yang lebih indah dari
persaudaraan karnaMu ini. Maka ikatkanlah kami dalam barisan orang-orang yang
senantisa bersyukur kepadaMu. Diary biru kubuka, mencatatkan pada lembarannya
akan hal yang kini kurasa indah juga.
Bogor, 5 Mei 2011
Rumah Tercinta,
Ayesha Tiana